Diary Volunteer Pengajar #MariMengajar4



Kita tahu, di Indonesia bila berbicara soal pendidikan ada 1001 masalah. Khususnya di provinsi Banten. Karenanya, Mari Mengajar yang diusung oleh Forkoma UI Banten mengirimkan mahasiswa-mahasiswa terbaik asal Banten untuk menjadi inspirator, pemantik motivasi anak-anak. Mendengar kabar bahwa Mari Mengajar membuka pendaftaran untuk tahun keempat membuat saya merasa terpanggil. Banyak yang sudah Banten berikan pada saya, lalu kini apa yang bisa saya berikan untuk Banten? Kesempatan menjadi Pengajar di MM4, inilah saatnya saya turun tangan langsung, terlibat dengan Indonesia.

Pada awal bulan Juni 2015, saya mengikuti seleksi Mari Mengajar 4 Forkoma UI Banten secara online. Melalui rangkaian seleksi yang panjang, akhirnya pada bulan Juli tahun 2015, saya dinyatakan lolos seleksi untuk menjadi Pengajar dan wajib mengikuti pelatihan volunteer dan briefing, sebelum akhirnya diberangkatkan ke daerah tujuan. Kegiatan ini berlangsung selama 10 hari. Terhitung mulai dari tanggal 14 Agustus hingga 24 Agustus 2015. 10 hari saya sudah mengenal mereka, meski memang tak semuanya saya kenal begitu dalam, tapi 10 hari yang diberikan mampu menorehkan kenangan yang mendalam

“Bu Yayu!”
“Bu Yayu, Bu Yayuu…”
Begitulah cara anak-anak itu menyambut saya. Saya bersama kak Tina yang tergopoh-gopoh berjalan selama 30 menit sambil membawa media pembelajaran yang berganti-ganti setiap harinya hanya bisa membalasnya dengan senyuman. Merasa mendapat sambutan yang hangat, anak-anak itu semakin bersahutan memanggil nama saya dan Kak Tina. Ketika saya sudah dekat pun, mereka masih menyapa saya riang, khas anak-anak sekali. “Bu Yayuuu” kata seorang anak sambil tersenyum kepada saya.

Siapakah anak-anak itu?

Mereka adalah anak-anak di Desa Sinar Bakti dari SDN 3 Cipedang.

Pepatah ‘Tak kenal maka tak sayang’ itu memang benar adanya. Saya memang hanya 7 hari menjadi pengajar kelas 6, tapi jangan heran apabila saya sudah hapal dengan karakter dan sifat murid-murid saya di sini. Saya memilih mengajar kelas enam karena kelas enam sudah mampu berfikir kritis dan abstrak. Sehingga saya bisa mengarahkan pola pikir mereka agar mau melawan segala keterbatasan yang ada dengan segala potensi yang mereka miliki. Kelas enam SDN 3 Cipedang adalah anak-anak Tuhan yang dikirimkan untuk kemajuan Banten 20 tahun yang akan datang. Binar mata mereka saat dikelas selalu menunjukan rasa ingin tahu dan kekaguman, seakan mereka diajak berkeliling dunia dan berandai-andai.

Rabu, 19 Agustus 2015 pukul 08.30, hari ini anak-anak belajar bahasa Indonesia, saya dan partner saya Kak Tina mengajar Bab 2 tentang Pekerjaan. Kami menggunakan metode simulasi. Ada simulasi ketika di rumah sakit, maka profesi yang terkait diantaranya adalah dokter, perawat, dan apoteker. Kemudian simulasi di rumah makan, maka profesi yang terkait diantaranya koki, pelayan, bahkan ada yang menjadi pengunjung. Selanjutnya simulasi perfilman, maka didalamnya ada sutradara, artis, produser, dan kameramen. Lalu simulasi tentang pers, terdapat profesi wartawan, reporter, korban, saksi mata, nara sumber, dll. Suasana hari itu sangat hangat, karena semangat anak-anak terpancar dari antusiasmenya. Sebelum itu, mereka menuliskan cita-cita mereka di dalam secarik kertas berbentuk baju, yang kemudian nantinya akan saya gantungkan di tali membentuk seperti jemuran. Dengan harapan, mereka dapat menggantungkan cita-cita mereka dan melihatnya sepanjang waktu selama di kelas. Aneh rasanya ketika melihat hampir 50% cita-cita mereka hanya sebatas menjadi ustad dan ustadzah, kemudian pemain bola, disusul guru dan dokter. Sudah.  Mungkin mereka tidak mengenal bahwa di luar sana masih banyak profesi yang lain yang mungkin menjadi minat mereka. Namun, setelah melsayakan simulasi tadi, anak-anak kemudian mengubah cita-cita mereka. Yang jago menggambar, dia memilih arsitek. Yang awalnya ingin menjadi ustad, kini berubah menjadi astronot. Lalu mulailah bermunculan kameramen, sutradara, koki handal, pengusaha, pilot, nahkoda, dan lain-lain.

Sebetulnya, jarak sekolah dengan permukiman penduduk tidak jauh, hanya sekitar 100-400 meter saja. Namun, karena mayoritas orangtua siswa bekerja sebagai TKW, petani, pedagang, dan buruh, ayah di kota, ibu bertani, mereka sering mengajak anak-anaknya bekerja selepas sekolah atau sekedar membantu pekerjaan rumah, seperti mengangkut air dari sumur desa ke rumah. Jadi, “Anak-anak jarang belajar di rumah, kalau malam kadang ngga ada listrik, akhirnya tidur saja” ungkap Nenek dari Davin, salah satu murid favorit saya.

Cerita siswa disana, terkadang ada guru yang jarang masuk kelas. Padahal di sekolah ini ada seorang guru yang mendapat kesempatan pertukaran guru ke Jepang, namun tampaknya kondisi sekolah di SDN 3 Cipedang ini masih membutuhkan banyak bantuan. Mulai dari kelengkapan infrastruktur, pengadaan sumber belajar, dan kualitas guru. Toh, semua kenyataan pahit itu tidak menyurutkan niat para pengajar Mari Mengajar 4 untuk tetap mengabdi pada tanah Banten. Ini persis seperti moto Indonesia Mengajar: Ini negeri besar dan akan lebih besar. Sekadar mengeluh dan mengecam kegelapan tidak akan mengubah apa pun. Nyalakan lilin, lakukan sesuatu.

Selain pengalaman mengajar, banyak hal lain yang saya dapatkan selama di Desa Cipedang, Lebak. Salah satunya, saya menjadi saksi perubahan positif yang ada di masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Walau hanya berada di sana selama 10 hari, saya dan wali kelas serta ibu homestay tempat saya menetap masih terus aktif berkomunikasi tentang perkembangan murid-murid kami, sekolah, maupun masyarakat di desa.
Di SDN 3 Cipedang ruang perpustakaan di multifungsikan sebagai ruang guru dan koleksi buku yang tidak banyak. Sering saya melihat anak-anak mengambil buku di perpustakaan kemudian dibawanya buku itu ke tempat lain, ke ruang kelas atau kantin. Bahkan ada yang membacanya sambal berdiri. Untungnya, para volunteer Proyek Sosial mendirikan sebuah taman baca bernama ‘Taman Baca Pesawat Kertas’ di desa Cipedang dengan koleksi buku yang lebih beragam. Walupun memang lokasi taman baca tersebut jauh, 30 menit jalan kaki dari kampung SD 3 Cipedang. Akan tetapi semangat mereka tak pernah padam, setiap sore sehabis sekolah madrasah mereka bersama-sama mengayuh sepeda menyebrangi sungai menuju taman baca. Warga pun menyambut gembira karena mereka turut andil dalam pengelolaannya.

Sekarang, jika ditanya bagaimana rasanya? Maka, saya menjawab selalu terkenang. Banyak sekali hal yang saya dapatkan, baik pengalaman hidup maupun pengembangan kapasitas diri. Walaupun kegiatan sudah berakhir dan saya sudah tidak menjadi pengajar, saya masih tetap bersemangat menceritakan pengalaman saya tinggal di sebuah desa di pedalaman Banten, tak bersinyal, kemarau panjang, rawan banjir, dan paceklik selama 10 hari. Rasanya, masih selalu seperti kemarin, tak terlupakan.

Terkadang saya merasa marah, kecewa, sakit hati, sedih, melihat potret pendidikan di tanah Banten ini. Tapi saya sudah terlanjur cinta, saya mengasihi Banten. Cinta dan kasih sayang tidak akan muncul begitu saja, tanpa kita mau belajar untuk mengembangkannya. Kesabaran dan Ketenangan Hati tidak akan di dapat begitu saja, tanpa mau merenungi diri untuk terus berubah dan berubah. Menyadari segala sesuatu adalah proses. Banten sedang mengepakkan sayapnya untuk menjadi provinsi adi daya. Banten punya segalanya, khususnya sumber daya manusia yang luar biasa. Proses perubahan dan proses pembelajaran. Semua ada prosesnya, semua ada pembelajarannya.

Ada sinar terang akan selalu membimbing menuju jalan keluar yang terindah. Dengan menyadari hal ini, maka bangkitlah, semangatlah dan majulah. Melangkah tidak perlu langsung berlari, tetapi pelan-pelan berjalan dengan mantap. Seperti anak kecil yang belajar berlari, belajar bermain, dan belajar untuk dewasa. Dengan turut serta dalam MM4, harapannya saya dapat sedikit memajukan Banten. Dan kita ingin agar mendidik, tidak dipandang sebagai tugas sekolah, tugas pemerintah. Tapi mendidik, mencerdaskan adalah tugas setiap orang yang terdidik. Siapa saja bisa menjadi guru. Siapa saja bisa mendidik. Ini, adalah bukti nyata anak-anak Banten untuk Ibu pertiwi. 
Ibu rindu kalian. Dear: Riyan, Davin, Faisal, Reza, Kurnia, dan segenap siswa kelas 6 SDN 3 Cipedang, Lebak, Banten.


Lebak, 14-24 Agustus 2015

Komentar

  1. Terharuuuu bacanya Ka Yayu. Salut untuk semangatnya dan semoga lilin-lilin yang dinyalakan bisa membuat Indonesia jauh lebih terang ya Kak.

    BalasHapus
  2. aaaaaak makasih Kak Dani :""")
    aamiin aamiin semoga Indonesia lebih terang di masa depan nanti hihi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer